Pemprov Kalbar Dorong Optimalisasi Fiskal Daerah Dari Sektor Kehutanan Dan Pertambangan
- account_circle Reskiansyah
- calendar_month Kamis, 10 Jul 2025
- visibility 40
- comment 0 komentar

Seputar Kalbar (PONTIANAK) – Gubernur Kalimantan Barat Ria Norsan, menghadiri Rapat Koordinasi Gubernur Dalam Rangka “Sinergi Daerah Penghasil Sumber Daya Alam (SDA) Untuk Menggali Potensi Dana Bagi Hasil Sektor Pertambangan Dan Kehutanan Guna Penguatan Fiskal Daerah” yang terselenggara di Ballroom Hotel Novotel Balikpapan, Kaltim, Rabu (9/7/2025).
Rakor yang mengedepankan upaya peningkatan potensi alam di daerah tersebut turut dihadiri 12 Gubernur di Indonesia diantaranya, Gubernur Kalsel, Gubernur Kalteng, Gubernur Kalimantan Barat, Gubernur Kalimantan Utara, Gubernur Jatim, Gubernur Sulawesi Tenggara, Gubernur Sulawesi Tengah, Gubernur Maluku Utara, Gubernur Sumatera Selatan, Gubernur Kepulauan Riau, Gubernur Jambi, dan Gubernur Kaltim yang bertindak sebagai tuan rumah dalam rakor tersebut.
Sebagai salah satu daerah penghasil sumber daya alam di sektor pertambangan dan kehutanan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mendorong penguatan fiskal daerah melalui optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor kehutanan dan pertambangan, seiring dengan tantangan regulasi serta potensi sumber daya alam yang besar di wilayah tersebut.
“Provinsi Kalimantan Barat memiliki 2.046 desa, di mana lebih dari separuhnya—yakni 1.157 desa—berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Ini menunjukkan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan sebagai bagian dari kehidupan dan penghidupan,” kata Gubernur Ria Norsan.
Diterangkannya, luas wilayah Kalbar mencapai 14,7 juta hektare dan dari jumlah tersebut 57 persen atau sekitar 8,32 juta hektare merupakan kawasan hutan, serta sisanya sebesar 43 persen atau 6,38 juta hektare adalah areal penggunaan lain (APL). Selain itu, wilayah ini juga memiliki ekosistem mangrove seluas 162.219 hektare, yang mayoritasnya berupa mangrove lebat.
Dalam pengelolaan hutan, Kalbar memiliki 17 Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH), meski baru lima di antaranya beroperasi efektif. Sementara itu, Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di provinsi ini mencapai 2,79 juta hektare yang tersebar dalam 124 unit KHG.
Ria Norsan menyoroti pentingnya adaptasi terhadap dinamika regulasi fiskal nasional. Salah satu tantangan krusial yang dihadapi Kalbar adalah penghapusan PNBP Iuran Tetap untuk Komoditas Mineral Bukan Logam dan Batuan melalui PP No. 19 Tahun 2025. Kebijakan ini dinilai berpotensi menurunkan penerimaan daerah secara signifikan karena belum adanya regulasi pusat sebagai dasar pengenaan iuran tetap baru.
“Fluktuasi DBH sangat terasa, dari Rp97,2 miliar pada 2020 hingga proyeksi Rp32,8 miliar di triwulan I tahun 2025. Ini perlu menjadi bahan evaluasi bersama dalam rakor ini,” jelasnya.
DBH sektor pertambangan di Kalbar selama ini bersumber dari Iuran Tetap (landrent) dengan porsi DBH 30 persen dan Iuran Produksi (royalti) dengan DBH 16 persen berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2022.
Hingga Maret 2025, tercatat 65 unit Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Kalbar dengan total luasan konsesi ±2,75 juta hektare. Izin tersebut terdiri atas 18 unit Hutan Alam, 43 Hutan Tanaman, satu unit Restorasi Ekosistem, dan tiga unit untuk Jasa Lingkungan karbon. Selain itu, terdapat 114 unit industri primer pengolahan hasil hutan.
Sementara itu, program Perhutanan Sosial terus berkembang dengan 271 unit persetujuan hingga Juni 2025 yang mencakup luas 701.862 hektare. Skema ini meliputi Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan Kehutanan.
Pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan juga berlangsung melalui mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Sampai Juni 2025, terdapat 49 persetujuan dengan luas total 83.199 hektare, yang terdiri dari 18 unit kegiatan non-tambang dan 31 unit kegiatan tambang.
Dalam rentang waktu 2020–2024, PNBP sektor kehutanan di Kalbar menunjukkan tren fluktuatif. Tercatat Rp48,97 miliar pada 2020, melonjak ke Rp89,33 miliar pada 2021, dan mencapai puncak Rp108,34 miliar pada 2022. Meski mengalami penurunan pada 2023 dan 2024, nilai kontribusi tetap signifikan.
PNBP tersebut berasal dari beragam sumber, antara lain PBPH, PBPHH, izin pelepasan kawasan hutan, hak guna usaha, hingga perhutanan sosial. Namun demikian, hingga kini masih terdapat piutang sebesar Rp73,45 miliar dari Pemanfaatan Kawasan Hutan (PKH), yang perlu ditindaklanjuti agar tidak menjadi potensi hilangnya penerimaan negara.
“Kendala lain adalah tidak adanya mekanisme bagi hasil dari PNBP PKH untuk pemerintah daerah, sehingga pelaksanaan pengawasan dan evaluasi di lapangan menjadi terbatas,” jelas Ria Norsan.
Pemprov Kalbar juga mencermati tren menurunnya nilai Transfer ke Daerah (TKDD) dari sektor kehutanan. Puncak realisasi terjadi pada 2019 sebesar Rp54,44 miliar, namun anjlok menjadi Rp10,66 miliar pada 2025. Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) menjadi dua komponen utama dalam TKDD kehutanan, dengan kontribusi tertinggi masing-masing terjadi pada 2019 dan 2021.
“Penurunan ini harus menjadi perhatian dalam upaya penguatan fiskal daerah. Rakor ini diharapkan menghasilkan sinergi dan solusi konkret untuk menjaga kesinambungan pendapatan dari sektor sumber daya alam,” tutup Gubernur Kalbar, Ria Norsan. ***
- Penulis: Reskiansyah
Saat ini belum ada komentar